tegarnews.site-Bogor| Hari Guru Nasional, yang diperingati setiap 25 November, seharusnya menjadi momen untuk merayakan dedikasi para guru dalam mencerdaskan bangsa. Namun, di balik pujian sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa,” para guru di Indonesia kerap menjalani kehidupan yang penuh tantangan, mulai dari diskriminasi hingga kesejahteraan ekonomi yang jauh dari memadai.
Mereka berdiri di garis depan pendidikan, tetapi sering kali terabaikan dalam sistem yang seharusnya mendukung mereka.
Bagi sebagian besar guru honorer, panggilan untuk mengabdi tak jarang diiringi dengan realitas yang pahit. Dengan gaji yang hanya ratusan ribu rupiah per bulan-jauh di bawah standar kelayakan hidup mereka tetap melangkah ke ruang kelas untuk mendidik generasi penerus bangsa. Di daerah-daerah terpencil, kisah guru yang harus berjalan kaki berjam-jam, melintasi medan berat demi mengajar anak-anak di pelosok negeri, adalah potret nyata dari pengabdian yang sering tidak sebanding dengan penghargaan yang diterima. Ketimpangan perlakuan antara guru honorer dan guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) menjadi salah satu bentuk diskriminasi yang terus membayangi dunia pendidikan di Indonesia.
Guru honorer tidak hanya menerima penghasilan yang lebih rendah, tetapi juga kerap dipandang sebelah mata dalam pengambilan keputusan. Meski telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun, banyak dari mereka yang belum mendapatkan kepastian status pekerjaan. Ironisnya, di tengah pengabdian itu, perlindungan terhadap guru masih sangat lemah. Kasus kekerasan terhadap guru, baik secara fisik maupun verbal, terus meningkat. Bahkan, tak sedikit guru yang terjerat kasus hukum akibat tindakan mereka mendisiplinkan siswa. Tanpa adanya perlindungan hukum yang memadai, banyak guru merasa tertekan, ragu untuk mengambil tindakan tegas, dan akhirnya kehilangan otoritas di ruang kelas.
Di sisi lain, kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Meskipun anggaran pendidikan telah mencapai 20 persen dari total APBN, dampaknya belum dirasakan secara merata oleh para guru. Banyak guru yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Birokrasi yang berbelit dalam pencairan tunjangan profesi guru (TPG) juga menambah beban mental mereka. Namun, di tengah keterbatasan ini, para guru tetap menjalankan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab. Mereka tak hanya mengajar, tetapi juga membangun karakter anak-anak bangsa yang kelak akan memimpin negeri ini. Pengabdian mereka adalah bentuk cinta yang tulus terhadap masa depan Indonesia.
Tuntutan Konkret:
1. Menuntut agar pemerintah segera merealisasikan janji kampanyenya, menambah kesejahteraan guru dengan memberikan penambahan gaji sebesar 2 jt rupiah perbulan setiaptahunnya.
2. Semakin memeperhatikan pengimplementasian UUD No 5 tahun 2014 pasal 131 ayat (2) ; Tenaga honorer yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dapat diangkat menjadi PPPK.
3. Menuntut pemerintah agar merivisi UU Perlindungan anak pasal 54, yang menjadi bias, dan dinilai membatasi guru dalam pendisplinan anak.
4. Menuntut pemerintah dalam menyediakan payung hukum yang jelas dan tegas untuk melindungi guru dari ancaman, kekerasan, atau tuntutan hukum yang tidak berdasar, sehingga mereka dapat mendidik dengan rasa aman.
5. Peningkatan kualitas guru dengan mengadakan program pelatihan dan pengembangan kompetensi guru secara berkelanjutan.
6. Penegakan Hari Guru sebagai Momentum Perubahan Nyata. Peringatan Hari Guru tidak boleh hanya menjadi acara seremonial atau pengucapan terima kasih yang bersifat formalitas. Pemerintah harus menjadikan momen ini sebagai awal dari langkah-langkah strategis untuk memperbaiki kebijakan pendidikan, memastikan bahwa guru mendapatkan hak-hak mereka, dan memberikan penghormatan yang lebih konkret terhadap profesi guru.
Guru bukan hanya pengajar; mereka adalah pelita yang menerangi jalan panjang bangsa menuju masa depan. Sudah saatnya kita memberikan penghargaan yang sejati kepada mereka, agar mereka dapat mengabdi tanpa rasa cemas akan hidup mereka sendiri. Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang memuliakan mereka yang telah mencerdaskan generasi penerusnya.[*]
24 November 2024
Abel Marcelino Tampubolon
Sekretaris Cabang GMKI Bogor.
(Rls/red)